Rahasia Lembah Purba

Kirana duduk di mejanya, memandangi sebuah peta tua yang penuh dengan coretan dan simbol aneh. Kertasnya sudah rapuh dan menguning oleh waktu, namun peta itu adalah penemuan terbesar dalam hidupnya. Seorang arkeolog muda dengan ambisi besar, Kirana baru saja menemukan petunjuk yang mungkin akan mengarahkannya ke tempat yang selama ini hanya dianggap mitos: Lembah Purba. Sebuah tempat yang dipercaya menyimpan peninggalan dari peradaban kuno yang hilang, lebih tua dari yang pernah dicatat oleh sejarah.

Peta itu ditemukan di dalam sebuah kotak kayu kecil di perpustakaan ayahnya yang sudah lama tidak terjamah. Ayahnya, seorang arkeolog terkenal, hilang dalam ekspedisi beberapa tahun yang lalu. Sejak saat itu, Kirana bertekad mengikuti jejaknya, mencoba menemukan apa yang sebenarnya terjadi pada ayahnya, dan mengungkap misteri yang meliputi hilangnya peradaban kuno yang selalu menjadi obsesinya.

Sambil memandangi peta, pikirannya melayang ke cerita yang sering ia dengar dari ayahnya sewaktu kecil.

“Lembah itu tidak seperti tempat lain di dunia ini, Kirana,” suara ayahnya terngiang di benaknya. “Banyak yang mencarinya, tapi tak ada yang kembali. Tapi aku yakin, ada sesuatu di sana… sesuatu yang lebih besar daripada yang bisa kita bayangkan.”

Setelah bertahun-tahun mencari, akhirnya Kirana memiliki petunjuk. Tanda-tanda yang ada di peta itu mengarah ke sebuah lokasi terpencil di tengah hutan lebat, jauh dari pemukiman manusia. Meskipun banyak arkeolog lain yang menganggap peta itu sebagai kebohongan atau sekadar peta hiasan kuno, Kirana merasa ada sesuatu yang nyata di dalamnya.

Dia tidak bisa melakukannya sendiri. Kirana mengambil ponselnya dan menelepon Raka, sahabatnya sejak kecil. Raka adalah seorang petualang dan pemandu yang berpengalaman. Dia sudah terbiasa menjelajahi tempat-tempat liar dan berbahaya, dan dia adalah orang pertama yang terlintas di benaknya saat Kirana memutuskan untuk mengikuti peta ini.

“Raka, aku menemukan sesuatu,” kata Kirana tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. “Apa lagi kali ini?” tanya Raka dengan nada penasaran.

“Peta tua. Ini bisa menjadi petunjuk untuk menemukan Lembah Purba. Aku butuh bantuanmu.”

Raka terdiam sejenak, lalu tertawa pelan.

“Kirana, sudah berapa kali kita mendengar tentang lembah itu? Setiap kali kamu menemukan petunjuk, selalu berakhir dengan jalan buntu.”

“Tapi ini berbeda. Aku yakin,” Kirana mendesak. “Ini ditemukan di antara barang-barang ayahku. Aku pikir… mungkin dia sedang menuju ke sana sebelum dia hilang.” Hening sebentar, sebelum akhirnya Raka berkata,

“Oke, kapan kita mulai?” Kirana tersenyum lega. “Besok pagi. Siapkan peralatanmu.”

Malam itu, Kirana berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar sambil memikirkan perjalanan yang akan datang. Perasaan tak sabar bercampur dengan rasa takut takut akan apa yang mungkin mereka temukan, dan takut bahwa ini mungkin saja perjalanan terakhirnya, sama seperti ayahnya. Namun, dia tahu bahwa dia tidak bisa mundur sekarang. Warisan ayahnya, dan masa depan pengetahuan tentang dunia kuno, ada di tangannya.

Keesokan paginya, Kirana dan Raka berdiri di tepi hutan lebat, tempat perjalanan mereka akan dimulai. Suara kicauan burung bercampur dengan deru angin yang meniup dedaunan, sementara matahari pagi bersinar lembut di atas cakrawala. Kirana memandang peta di tangannya dengan hati-hati, memastikan arah yang akan mereka ambil. Raka, yang mengenakan jaket tebal dan membawa tas besar berisi peralatan, bersandar di sebuah pohon, menunggu instruksi dari sahabatnya.

“Hutan ini sudah lama dianggap angker,” kata Raka, menatap lebatnya pepohonan di depan mereka.

“Banyak cerita tentang orang yang tersesat di sini dan tidak pernah kembali.” Kirana tersenyum tipis, meskipun hatinya sedikit waswas.

“Mungkin itulah sebabnya tak ada yang menemukan lembah ini selama berabad-abad.

Mereka terlalu takut untuk mencoba.” Raka mengangkat alisnya.

“Atau mungkin memang tidak ada yang bisa kembali karena tempat itu terkutuk.”

“Sudahlah, Raka. Kamu mulai terdengar seperti legenda lokal,” balas Kirana sambil memasukkan peta ke dalam tasnya. “Yuk, kita mulai.”

Mereka melangkah masuk ke dalam hutan, meninggalkan suara peradaban di belakang mereka. Seiring mereka berjalan lebih dalam, dunia di sekitar mereka menjadi semakin sunyi. Dedaunan yang tebal dan pepohonan tinggi menutupi cahaya matahari, membuat suasana menjadi temaram. Meskipun Raka sudah terbiasa dengan hutan, kali ini dia merasa ada sesuatu yang berbeda seolah-olah mereka sedang diawasi oleh mata tak terlihat.

Kirana memimpin dengan penuh semangat, tetapi sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Raka masih mengikutinya. Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah sungai kecil yang airnya mengalir jernih. Kirana berhenti sejenak untuk melihat peta.

“Kita harus menyeberangi sungai ini,” katanya. “Setelah itu, kita akan mulai mendaki bukit yang ditandai di sini.” Raka menatap arus sungai yang cukup deras, lalu kembali menatap Kirana.

“Apa kamu yakin ini rutenya? Sungainya cukup deras. Apa ada jembatan?” Kirana menggeleng.

“Peta ini tidak menunjukkan adanya jembatan. Tapi kita bisa melewatinya di bagian yang lebih dangkal, mungkin lebih ke hulu.”

Mereka berjalan di sepanjang tepi sungai, mencari tempat yang lebih aman untuk menyeberang. Setelah beberapa saat, mereka menemukan sebuah tempat di mana airnya tidak terlalu dalam, hanya setinggi lutut. Dengan hati-hati, mereka mulai menyeberangi sungai, memperhatikan setiap langkah agar tidak tergelincir di atas batu-batu licin.

Setelah berhasil menyeberangi sungai, mereka melanjutkan perjalanan dengan mendaki bukit yang terjal. Raka, yang lebih terbiasa dengan medan berat, memimpin kali ini. Nafas Kirana mulai terengah-engah saat mereka terus mendaki, tetapi dia tidak mengeluh. Tujuan mereka sudah jelas di depan mata, dan dia tidak akan membiarkan kelelahan menghentikannya.

Ketika mereka mencapai puncak bukit, pemandangan yang terbentang di hadapan mereka membuat Kirana terdiam sejenak. Di kejauhan, terlihat sebuah lembah yang tersembunyi di antara dua gunung besar, dikelilingi oleh pepohonan lebat. Lembah itu tampak sunyi, seperti tempat yang terlupakan oleh waktu.

“Itu dia,” kata Kirana dengan napas tertahan.

“Lembah Purba.” Raka mengangguk sambil mengusap keringat dari dahinya.

“Kelihatannya perjalanan kita belum selesai. Kita masih harus melewati hutan di sekeliling lembah itu.” Kirana mengangguk.

“Ayo, kita lanjutkan.”

Saat mereka menuruni bukit menuju lembah, suasana menjadi semakin aneh. Udara di sekitar mereka terasa lebih lembab dan dingin, meskipun matahari masih bersinar di atas. Suara-suara alam mulai meredup, seolah-olah hutan itu sendiri menjaga rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Setiap langkah yang mereka ambil, mereka merasakan kehadiran sesuatu yang tak kasat mata sesuatu yang mengintai dari balik pepohonan.

“Merasakan yang aneh?” tanya Kirana tiba-tiba, memecah keheningan. Raka, yang selalu mengandalkan instingnya selama bertahun-tahun menjelajahi alam liar, hanya mengangguk pelan.

“Seperti ada sesuatu yang mengawasi kita.”

Mereka mempercepat langkah, berharap segera mencapai lembah sebelum gelap. Tapi semakin dalam mereka masuk ke hutan, semakin sulit jalan yang mereka hadapi. Ranting-ranting tebal dan akar-akar pohon yang menjalar di tanah membuat perjalanan semakin sulit. Namun, Kirana tetap fokus pada tujuannya. Peta itu sudah jelas menunjukkan jalan, dan dia tidak ingin tersesat seperti para penjelajah lain yang konon hilang di sini.

Saat mereka mendekati perbatasan lembah, tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari balik semak-semak. Raka segera berhenti dan memberi isyarat pada Kirana untuk diam. Mereka berdua berdiri kaku, mencoba mendengar lebih jelas. Suara itu terdengar lagi seperti suara langkah kaki, tapi tidak terlalu berat. Mungkin binatang liar, pikir Kirana. Namun, saat suara itu semakin mendekat, mereka menyadari bahwa itu bukan suara hewan biasa. Langkah-langkah itu terdengar terlalu teratur, terlalu manusiawi.

“Mungkin penduduk lokal?” bisik Kirana, berharap. Raka menggeleng.

“Penduduk lokal tidak akan berada di sini. Mereka menghindari tempat ini.”

Sebelum mereka bisa bereaksi lebih lanjut, dari balik semak-semak muncul sosok seorang pria berusia paruh baya dengan janggut tebal dan pakaian lusuh. Matanya tampak gelisah, dan dia membawa tongkat kayu yang panjang

“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya pria itu dengan suara serak, menatap mereka dengan curiga. Kirana dan Raka saling pandang, tidak yakin bagaimana harus merespons. Kirana memutuskan untuk berbicara lebih dulu.

“Kami mencari Lembah Purba,” jawab Kirana.

“Apakah Anda tahu tempat itu?” Pria itu tertawa kecil, namun terdengar pahit.

“Lembah Purba? Kalian pikir bisa menemukan lembah itu dan keluar hidup-hidup? Banyak yang sudah mencoba, Nak. Tapi tidak ada yang kembali.”

“Kami sudah sampai sejauh ini,” balas Raka dengan tegas. “Kami tidak akan mundur sekarang.”

Pria itu memandang mereka dengan tatapan tajam, seolah-olah sedang menilai ketulusan mereka. Setelah hening sejenak, dia menghela napas panjang.

“Baiklah. Kalau kalian memang nekat, ikuti aku. Tapi jangan salahkan aku kalau kalian tidak pernah kembali.” Tanpa menunggu jawaban, pria itu mulai berjalan ke arah lembah. Kirana dan Raka, meskipun ragu, memutuskan untuk mengikutinya. Dengan jantung berdebar, mereka terus maju, mendekati rahasia yang selama ini tersembunyi di dalam Lembah Purba.

Kirana dan Raka mengikuti pria misterius itu menyusuri hutan menuju lembah yang lebih dalam. Suasana semakin sunyi, hanya terdengar suara gemerisik daun yang ditiup angin. Pria itu tidak banyak bicara, tetapi langkahnya mantap dan penuh keyakinan, seakan dia sudah sangat familiar dengan wilayah ini. Kirana merasa ada sesuatu yang ganjil tentang pria ini mengapa dia berada di tempat terisolasi seperti ini, dan apa tujuannya?

Setelah sekitar satu jam berjalan, mereka tiba di tepi sebuah jurang yang dalam. Di seberang jurang, terlihat reruntuhan kuno yang sebagian tertutupi oleh pepohonan lebat dan tanaman merambat. Bangunan-bangunan batu itu tampak kuno, dengan ukiran aneh di dindingnya. Kirana merasa berdebar-debar melihatnya. Inilah yang selama ini dia cari sebuah tanda bahwa peradaban yang hilang itu benar-benar ada.

“Lembah Purba,” gumam pria itu sambil menunjuk ke arah reruntuhan.

“Tapi jangan pikir kalian sudah sampai dengan selamat. Di sini, semuanya bisa berubah. Kalian harus siap menghadapi tantangan yang tak pernah kalian bayangkan.” Raka menyipitkan matanya, menatap pria itu dengan curiga.

“Apa maksudmu dengan ‘tantangan’? Kami tidak datang ke sini tanpa persiapan.” Pria itu hanya tertawa sinis, suaranya terpantul di antara tebing-tebing yang tinggi.

“Persiapan kalian tidak ada artinya di tempat ini. Kalian akan segera tahu.”

Sebelum mereka bisa bertanya lebih lanjut, pria itu melangkah mundur, kembali menyusuri jalan yang baru mereka lalui.

“Aku sudah memperingatkan kalian. Selanjutnya, terserah kalian,” katanya sebelum menghilang di balik pohon-pohon. Kirana dan Raka saling pandang, tidak yakin apa yang harus dilakukan. Mereka tahu tidakada jalan untuk mundur sekarang. Kirana membuka peta sekali lagi, mempelajari jalur yang mereka harus tempuh. Satu-satunya cara untuk

melanjutkan perjalanan adalah menyeberangi jurang itu. Di kejauhan, terlihat sebuah jembatan gantung yang sudah lapuk dan goyah.

“Kita harus melewati jembatan itu,” kata Kirana sambil menunjuk. Raka mendesah pelan. “Tentu saja. Selalu ada jembatan tua di tempat-tempat seperti ini.”

Mereka berjalan mendekati jembatan, dan Kirana segera merasakan getaran ketakutan di dalam dirinya. Jembatan itu terlihat rapuh, dengan beberapa papan kayu yang sudah retak dan tali penyangga yang tampak usang. Di bawahnya, jurang menganga, dengan sungai yang mengalir deras ratusan meter di bawah.

“Aku akan pergi lebih dulu,” kata Raka, melepaskan tas ranselnya dan menempatkannya di tanah. “Jika jembatan ini kuat, kamu bisa mengikuti.” Raka menginjakkan kakinya dengan hati-hati di atas papan kayu pertama. Jembatan berderit, tetapi tidak runtuh. Dengan perlahan, Raka melangkah lebih jauh ke tengah jembatan, tangannya berpegangan pada tali penyangga yang goyah.

Kirana berdiri di tepi jurang, menahan napas saat melihat Raka menyeberangi jembatan. Setiap kali papan berderit, jantungnya berdebar lebih keras. Ketika Raka mencapai bagian tengah jembatan, tiba-tiba terdengar suara retakan keras. Sebuah papan kayu di bawah kakinya pecah, membuat Raka terhuyung-huyung.

“Raka!” teriak Kirana, merasa panik. Raka segera berpegangan erat pada tali penyangga, mencoba menyeimbangkan dirinya.

“Aku baik-baik saja!” teriaknya balik. “Jangan bergerak! Jembatan ini sudah sangat tua.” Dengan hati-hati, Raka berhasil melewati papan yang pecah dan melanjutkan perjalanan hingga mencapai sisi seberang. Setelah memastikan jembatan itu cukup kuat, dia memberi isyarat pada Kirana untuk mengikuti. Kirana menelan ludah, menguatkan dirinya, dan mulai melangkah ke jembatan. Kakinya gemetar saat dia menginjak papan-papan kayu yang terdengar berderit. Angin kencang yang bertiup melalui jurang menambah kesan menakutkan. Dia mencoba untuk tidak melihat ke bawah, tetapi bayangan sungai yang berkilauan jauh di bawahnya terus menghantuinya.

Setelah apa yang terasa seperti perjalanan panjang, Kirana akhirnya sampai di sisi seberang. Nafasnya terengah-engah, tetapi dia merasa lega. “Itu mengerikan,” katanya sambil meletakkan tangan di lututnya untuk menenangkan diri.

“Kita sudah melewati tantangan pertama,” jawab Raka. “Tapi aku yakin ini baru permulaan.” Mereka melanjutkan perjalanan menuju reruntuhan kuno yang semakin dekat. Di sekitar mereka, hutan mulai terlihat lebih gelap, dengan pohon-pohon yang lebih besar dan rindang. Udara semakin lembab, dan ada aroma aneh yang mulai memenuhi hidung mereka bau yang asing, seperti campuran tanah basah dan sesuatu yang busuk. Kirana menghentikan langkahnya, merasakan ketidaknyamanan.

“Kau mencium itu?” tanyanya. Raka mengangguk pelan.

“Ya. Sepertinya kita tidak sendiri di sini.” Suasana di sekitar mereka semakin mencekam. Semakin mereka mendekati reruntuhan, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang mengintai di balik kegelapan hutan. Suara langkah-langkah ringan terdengar samar di belakang mereka

seperti bayangan yang bergerak diam-diam, namun ketika mereka menoleh, tidak ada yang terlihat.

“Kita diawasi,” bisik Raka, matanya terus memindai sekeliling. Kirana merasakan bulu kuduknya meremang. Dia mencoba mengabaikan rasa takut itu, tetapi sulit untuk berpikir jernih dengan ketegangan yang semakin membangun. Mereka harus segera mencapai reruntuhan dan mencari perlindungan di sana. Saat mereka terus melangkah, tiba-tiba terdengar suara geraman rendah dari arah semak-semak di sebelah kanan mereka. Raka segera menarik Kirana ke belakang, mempersiapkan diri menghadapi apapun yang keluar dari sana. Dari balik dedaunan, muncul seekor makhluk yang lebih besar dari serigala biasa, dengan bulu hitam yang lebat dan mata merah menyala. Giginya tajam, dan tubuhnya tampak lebih besar daripada binatang liar yang pernah mereka lihat sebelumnya.

“Lari!” teriak Raka.

Tanpa berpikir dua kali, Kirana dan Raka langsung berlari secepat mungkin menjauh dari makhluk itu. Geraman yang semakin keras di belakang mereka membuat adrenalin mereka berpacu. Makhluk itu mengejar mereka dengan kecepatan yang luar biasa, melompati akar-akar pohon yang besar dan menyusuri tanah berlumpur dengan lincah. Kirana bisa mendengar napas berat binatang itu di belakangnya, semakin mendekat setiap detik. Raka meraih tangan Kirana, menariknya menuju reruntuhan yang sudah mulai terlihat di depan mereka. Mereka harus mencapai tempat itu sebelum makhluk itu berhasil mengejar mereka.

“Cepat, masuk ke sana!” teriak Raka sambil menunjuk sebuah celah di antara dua bangunan batu yang rusak. Mereka berlari menuju celah itu, dan dengan sisa-sisa tenaga yang mereka miliki, mereka berhasil menyelinap masuk ke dalam reruntuhan tepat sebelum makhluk itu menerkam. Makhluk tersebut berhenti di depan celah, menggeram dengan marah, tetapi tidak bisa masuk karena ukurannya terlalu besar.

Kirana terduduk di tanah, kehabisan napas, sementara Raka berdiri di sampingnya, mengawasi makhluk itu yang kini tampak frustasi di luar.

“Apa itu?” tanya Kirana, suaranya gemetar. Raka hanya menggelengkan kepala, masih terengah-engah.

“Aku tidak tahu, tapi jelas bukan hewan biasa.” Mereka berdua tahu bahwa ini bukan tantangan terakhir yang akan mereka hadapi. Di dalam reruntuhan ini, rahasia peradaban kuno masih menunggu, dan mungkin bahaya yang lebih besar akan segera menyusul.

Setelah berhasil meloloskan diri dari makhluk buas itu, Kirana dan Raka menemukan diri mereka berada di tengah reruntuhan yang dulu pernah menjadi bagian dari peradaban kuno. Dinding-dinding batu di sekitar mereka dihiasi ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan kehidupan masyarakat di masa lalu, namun waktu telah mengikis sebagian besar detailnya. Meskipun begitu, di antara kerusakan yang ada, ada jejak sejarah yang masih terlihat jelas jejak yang mungkin menyimpan kunci tentang apa yang terjadi pada peradaban yang hilang ini.

Kirana bangkit dari tempatnya duduk, masih mencoba mengatur napas. Dia berjalan mendekati salah satu dinding yang penuh dengan ukiran, menyentuhnya dengan hati-hati.

“Ini luar biasa,” gumamnya, matanya penuh kekaguman.

“Mereka benar-benar ada. Semua cerita dan legenda itu ternyata benar.” Raka, yang masih berdiri di dekat pintu masuk, memperhatikan sekeliling dengan waspada.

“Ya, tapi kita belum tahu seberapa berbahayanya tempat ini. Makhluk tadi bisa jadi hanya salah satu dari banyak ancaman yang tersembunyi di sini.”

Kirana mengangguk, meskipun pikirannya lebih terfokus pada rasa penasaran daripada ketakutan.

“Kita harus menjelajah lebih jauh. Ada sesuatu di sini, sesuatu yang mereka sembunyikan mungkin rahasia tentang peradaban mereka atau bahkan harta karun yang mereka tinggalkan.” Mereka berdua mulai berjalan lebih dalam ke dalam reruntuhan. Setiap langkah terasa penuh ketegangan. Meskipun reruntuhan tampak sunyi, ada perasaan bahwa tempat ini menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar batu dan sejarah. Lorong-lorong sempit yang mereka lewati dipenuhi dengan bayangan, dan terkadang suara angin yang berdesir membuat mereka berpikir ada sesuatu yang mengikuti mereka.

Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah ruang besar yang tampak seperti bekas kuil. Pilar-pilar tinggi berdiri di kedua sisi ruangan, meskipun sebagian sudah runtuh. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu dengan ukiran-ukiran kuno yang tampak lebih jelas dibandingkan yang lainnya. Kirana mendekati altar itu, matanya tertuju pada simbol-simbol yang tampak sangat asing. Raka, yang berdiri di belakangnya, memperhatikan dengan penuh perhatian

“Apa itu?” tanyanya. Kirana menelusuri ukiran-ukiran dengan jemarinya, mencoba memahami arti dari simbol-simbol tersebut.

“Ini seperti petunjuk,” katanya pelan.

“Mereka mungkin mencoba menyembunyikan sesuatu di sini.” Mata Kirana tiba-tiba tertuju pada sebuah simbol yang berbeda dari yang lainnya. Itu adalah lingkaran dengan garis-garis aneh di sekelilingnya, seolah menggambarkan matahari atau mungkin sesuatu yang lebih metaforis. Dia merasa ada sesuatu yang penting di balik simbol itu.

“Aku rasa ini adalah kunci,” kata Kirana, setengah berbisik.

“Mungkin ini bisa membuka jalan menuju sesuatu yang lebih besar.”

Tapi sebelum mereka bisa mendalami lebih jauh, lantai di bawah mereka tiba-tiba bergetar. Suara retakan terdengar di sekitar mereka, dan debu-debu dari langit-langit mulai berjatuhan.

“Kirana, kita harus keluar dari sini!” teriak Raka, panik. Mereka berdua berlari keluar dari ruangan itu, tepat ketika bagian dari atap kuil runtuh di belakang mereka. Napas mereka tersengal, dan detak jantung mereka terasa lebih cepat dari sebelumnya. Mereka berhasil keluar tepat waktu, tetapi reruntuhan di belakang mereka kini tertutup oleh batu-batu besar.

“Kita hampir saja mati di sana,” desah Raka, masih terengah-engah.

“Tapi kita masih hidup, dan kita menemukan sesuatu,” jawab Kirana, meskipun dia juga merasa lega bisa lolos dari bahaya.

Setelah kejadian mendebarkan di kuil kuno, Kirana dan Raka berjalan lebih jauh ke dalam reruntuhan, kali ini dengan lebih hati-hati. Perasaan bahwa tempat ini penuh dengan jebakan dan rahasia yang belum terungkap membuat mereka tetap waspada. Meskipun demikian,

Kirana tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dia merasa bahwa mereka semakin dekat dengan sesuatu yang besar. Di depan mereka, lorong semakin sempit dan gelap. Dinding-dinding di sekitarnya mulai dipenuhi oleh tanaman merambat yang menutupi ukiran-ukiran kuno. Suasana semakin sunyi, dan hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar menggema di sepanjang lorong batu itu. Cahaya matahari yang tadinya menerobos dari celah-celah reruntuhan kini semakin redup, seolah-olah tempat ini berada di bawah bayangan misterius.

“Kita harus terus maju,” kata Kirana dengan suara yang hampir berbisik.

“Aku yakin ada sesuatu di ujung lorong ini.” Raka mengangguk, meskipun dia tetap waspada terhadap kemungkinan bahaya yang bisa muncul kapan saja.

“Pastikan kita tidak melangkah ke dalam perangkap lain,” balasnya dengan nada hati-hati.

Setelah beberapa menit, lorong yang mereka lewati mulai melengkung, dan tiba-tiba mereka keluar di sebuah ruang terbuka yang sangat luas. Ruangan itu tampak seperti pusat dari reruntuhan ini, dengan pilar-pilar besar yang masih berdiri tegak, meskipun beberapa telah retak dan hampir runtuh. Di tengah-tengah ruangan, mereka melihat sebuah pintu batu besar dengan ukiran simbol-simbol kuno yang rumit, mirip dengan yang mereka temukan di altar sebelumnya.

“Kita menemukannya,” kata Kirana dengan penuh kekaguman. “Ini pasti pintu menuju sesuatu yang sangat penting.” Mereka mendekati pintu itu, dan Kirana mulai memeriksa simbol-simbol di permukaannya. Beberapa di antaranya tampak familiar, sementara yang lainnya lebih rumit dan sulit diartikan. Tapi di antara semua simbol, Kirana lagi-lagi melihat lingkaran dengan garis-garis aneh di sekelilingnya simbol yang sama seperti yang mereka temukan di altar.

“Kamu pikir ini bisa dibuka?” tanya Raka, menyentuh permukaan pintu yang dingin. “Aku tidak tahu,” jawab Kirana jujur.

“Tapi simbol ini pasti kuncinya. Mereka tidak akan membuat pintu seperti ini jika tidak ada sesuatu yang penting di baliknya.” Raka memandang pintu itu dengan cermat, lalu berbalik ke arah Kirana.

“Jadi, apa rencanamu? Kita tidak bisa sembarang mencoba membukanya tanpa tahu apa yang mungkin menunggu di balik pintu ini.” Kirana berpikir sejenak, mencoba mengingat semua yang mereka temukan sejauh ini.

“Mungkin ada mekanisme tersembunyi di sini. Sesuatu yang bisa kita aktifkan menggunakan simbol-simbol ini.”

Mereka berdua mulai memeriksa setiap detail pintu dan area sekitarnya, mencari petunjuk yang mungkin tersembunyi di balik ukiran-ukiran kuno itu. Tantangan berikutnya sudah dekat, dan mereka harus siap untuk menghadapi apapun yang mungkin muncul saat mereka menemukan rahasia Lembah Purba.

Di hadapan pintu batu besar yang menjulang, Kirana dan Raka berdiri memandang simbol-simbol misterius di permukaannya. Ketegangan merayap di udara, dan meskipun mereka telah berhasil mengatasi berbagai rintangan di reruntuhan ini, mereka tahu bahwa tantangan terbesar mungkin berada di balik pintu tersebut.

“Kamu yakin kita bisa membukanya?” tanya Raka, suaranya penuh keraguan, meskipun dia tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya. Kirana mengangguk pelan, jemarinya masih mengelus simbol lingkaran yang tampak sangat menonjol di antara ukiran-ukiran lainnya.

“Aku yakin ini adalah kuncinya. Peradaban ini menyembunyikan sesuatu yang sangat berharga di sini, dan kita harus menemukannya.” Setelah beberapa saat merenung, Kirana menemukan sebuah lekukan kecil di sekitar simbol lingkaran. Dia menekan lekukan itu, dan tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh pelan. Pintu besar itu perlahan-lahan mulai terbuka, meninggalkan celah yang cukup besar untuk mereka lewati. Debu dan serpihan batu kecil jatuh dari bagian atas pintu, seolah menandai bahwa pintu ini sudah sangat lama tidak dibuka.

Kirana dan Raka saling bertukar pandang, perasaan tegang bercampur antusias memenuhi dada mereka. Dengan hati-hati, mereka memasuki ruangan di balik pintu tersebut. Begitu mereka melangkah masuk, suasana di dalam ruangan berubah drastis. Udara terasa lebih dingin, dan cahaya yang tadinya masih menyelinap dari langit-langit reruntuhan kini hampir hilang sepenuhnya.

Ruangan itu sangat luas, dengan dinding-dinding tinggi yang dihiasi oleh ukiran-ukiran kuno yang lebih rumit daripada yang mereka temukan sebelumnya. Di tengah ruangan, mereka melihat sebuah altar besar, lebih megah dari yang pertama. Namun, yang membuat mereka tertegun bukan hanya ukuran altar itu, melainkan sesuatu yang berdiri di atasnya—sebuah benda berkilauan yang memancarkan cahaya keemasan, melingkari sebuah batu kristal besar berwarna biru terang. Kirana mendekati altar itu, matanya berbinar.

“Ini dia… ini pasti yang mereka sembunyikan selama ini,” gumamnya.

“Batu kristal ini… sepertinya sumber kekuatan mereka.” Raka menatap kristal itu dengan hati-hati.

“Ini bisa sangat berbahaya, Kirana. Kita tidak tahu apa efeknya jika kita menyentuhnya atau membawanya keluar dari sini.” Kirana merenung sejenak, namun rasa penasarannya terlalu kuat untuk diabaikan. Dia meraih kristal itu dengan hati-hati. Begitu jari-jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat terasa di seluruh ruangan. Kristal itu bersinar lebih terang, dan tiba-tiba lantai di bawah mereka mulai bergetar hebat.

“Kirana, kita harus pergi! Tempat ini mulai runtuh!” teriak Raka dengan panik, menarik lengan Kirana agar menjauh dari altar.

Namun, sebelum mereka bisa melarikan diri, suara gemuruh yang lebih keras terdengar. Dari bayangan di sisi ruangan, muncul sosok yang tak pernah mereka bayangkan—sesosok makhluk besar dengan tubuh seperti singa, namun dengan sayap yang tampak seperti sayap naga. Matanya menyala merah, dan dengan raungan yang memekakkan telinga, makhluk itu menatap mereka dengan penuh kebencian. Kirana dan Raka membeku di tempat.

“Apa itu?” bisik Kirana, nyaris tak mampu bergerak karena rasa takut yang menyergapnya.Raka, dengan cepat, menarik Kirana menjauh dari altar dan memposisikan tubuhnya untuk melindungi Kirana.

“Aku tidak tahu, tapi kita harus keluar dari sini. Sekarang!”

Makhluk itu melangkah mendekati mereka dengan gerakan lamban namun pasti. Setiap langkahnya menyebabkan lantai di bawahnya bergetar. Raka dan Kirana berlari menuju pintu yang tadi mereka lewati, namun makhluk itu menghalangi jalan keluar mereka. Kini, mereka terjebak di dalam ruangan bersama makhluk purba yang tampaknya merupakan penjaga terakhir dari tempat ini. Ketegangan di ruangan itu semakin terasa memuncak saat makhluk penjaga terus mendekati mereka. Kirana dan Raka mundur perlahan, mencari cara untuk meloloskan diri dari bahaya yang mengintai. Raungan makhluk itu semakin menggelegar, menggema di seluruh ruangan dan membuat dinding-dinding batu bergetar hebat.

Kirana menatap kristal biru di tangannya. Cahaya dari kristal itu tampaknya semakin intens sejak makhluk itu muncul, seolah-olah ada hubungan antara keduanya. Dia memutar otaknya, mencari petunjuk dari ukiran-ukiran yang mereka temukan sebelumnya.

“Kristal ini… mungkin ini bukan hanya harta, tapi juga kunci untuk menghadapi makhluk ini.” Raka mengerutkan kening, meskipun dalam situasi genting seperti ini, dia masih mendengarkan dengan cermat.

“Maksudmu apa?” Kirana teringat simbol lingkaran di altar dan pintu sebelumnya. “Peradaban ini pasti tahu bahwa ada sesuatu yang harus mereka jaga, dan makhluk ini adalah penjaga terakhirnya. Tapi mereka juga memberi kita petunjuk. Kristal ini mungkin bisa mengendalikan makhluk itu, atau setidaknya membuatnya berhenti menyerang.”

“Bagaimana kamu tahu?” Raka bertanya, matanya masih tertuju pada makhluk yang mendekat.

“Aku tidak yakin,” jawab Kirana dengan jujur.

“Tapi kita tidak punya pilihan lain.” Dengan penuh keberanian, Kirana mengangkat kristal biru itu, mengarahkannya ke makhluk besar yang terus melangkah ke arah mereka. Cahaya dari kristal itu memancar lebih terang, menerangi seluruh ruangan. Makhluk itu berhenti di tempatnya, tampak ragu sejenak, matanya yang merah menyala mulai meredup. Namun, itu hanya berlangsung sesaat. Dengan raungan yang lebih keras, makhluk itu kembali bergerak maju, kali ini lebih cepat dari sebelumnya.

“Ini tidak berhasil!” teriak Raka. “Kita harus cari cara lain!” Kirana tidak menyerah. Dia memusatkan pikirannya pada simbol lingkaran yang terus terbayang di benaknya. Dia tahu ada sesuatu yang mereka lewatkan. Saat makhluk itu semakin mendekat, Kirana melihat ukiran besar di dinding sebelah kanan ruangan ukiran lingkaran yang sama dengan yang ada di pintu dan altar sebelumnya.

“Raka, lihat!” serunya. “Itu! Kita harus menuju ke sana!” Raka menoleh dan melihat ukiran yang dimaksud Kirana. Tanpa ragu, mereka berlari menuju dinding dengan ukiran itu, meskipun makhluk besar di belakang mereka semakin mendekat. Saat mereka tiba di depan ukiran, Kirana segera menekan pusat lingkaran yang ada di dinding. Kristal di tangannya bersinar sangat terang, dan tiba-tiba, lantai di bawah mereka berguncang dengan keras.

Makhluk penjaga berhenti, seolah-olah terkejut oleh getaran tersebut. Cahaya dari kristal biru menyelimuti seluruh ruangan, dan perlahan, makhluk itu mundur, menghilang kembali ke dalam bayangan. Kirana dan Raka terdiam, napas mereka tersengal-sengal, namun mereka tahu satu hal mereka telah berhasil mengendalikan penjaga purba itu.

“Sudah selesai?” tanya Raka, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kirana mengangguk, menyimpan kristal itu di tangannya.

“Ya, setidaknya untuk saat ini.” Mereka berdiri di depan dinding yang sekarang tampak lebih tenang. Meski bahaya sementara telah berlalu, mereka tahu bahwa rahasia terbesar Lembah Purba masih menanti untuk ditemukan.

Setelah berhasil mengendalikan makhluk penjaga, Kirana dan Raka berdiri di depan dinding besar yang memiliki ukiran lingkaran tadi. Ketenangan mulai terasa, tetapi ketegangan dalam hati mereka belum sepenuhnya hilang. Mereka telah melewati banyak hal dan sekarang dihadapkan pada pilihan: apakah mereka akan terus menggali rahasia di tempat ini atau kembali dengan selamat membawa kristal biru yang sudah mereka temukan? Kirana, masih menggenggam kristal itu, mendekati dinding tempat lingkaran besar tersebut berada.

“Ini belum berakhir,” gumamnya, suaranya terdengar lelah namun yakin.

“Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.” Raka mendekat, tatapannya beralih dari dinding ke kristal di tangan Kirana. “Kita sudah sejauh ini. Jika memang ada rahasia lain, kita harus menemukannya,” katanya dengan tegas. Meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya, Raka tetap setuju untuk melanjutkan perjalanan mereka. Dengan keyakinan yang baru, Kirana mulai meneliti dinding itu lebih cermat. Setelah beberapa saat, dia menemukan sebuah celah kecil di sudut bawah ukiran lingkaran. Tanpa ragu, Kirana memasukkan kristal biru ke dalam celah tersebut. Sebuah gemuruh terdengar dari dalam dinding, dan perlahan-lahan, sebuah pintu tersembunyi terbuka di hadapan mereka.

Dari celah pintu yang terbuka, sinar keemasan memancar, menerangi ruangan kecil di baliknya. Di tengah ruangan itu, mereka melihat sesuatu yang luar biasa sebuah artefak besar berbentuk lingkaran, terbuat dari logam berkilauan dengan simbol-simbol kuno yang terukir di seluruh permukaannya. Artefak itu tampak sebagai inti dari segala sesuatu yang mereka temukan di reruntuhan ini. Kirana terdiam, terpesona oleh keindahan artefak tersebut.

“Ini… ini adalah pusat kekuatan peradaban kuno ini,” bisiknya. Raka melangkah maju, menatap artefak dengan kagum.

“Jadi ini yang mereka lindungi selama berabad-abad? Sesuatu yang memiliki kekuatan untuk menjaga keseimbangan di tempat ini?” Kirana mengangguk.

“Kristal biru ini adalah kuncinya, tetapi artefak ini adalah jantungnya. Ini bukan hanya harta karun biasa, ini adalah sumber kekuatan mereka.”

Mereka berdua terdiam sejenak, memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Mereka telah menemukan inti dari misteri yang mereka kejar, tetapi dengan itu muncul tanggung jawab besar. Apakah mereka akan membawa artefak ini keluar dari lembah, atau meninggalkannya di tempat asalnya?

Setelah beberapa saat merenung, Raka akhirnya memecah keheningan.

“Kirana, aku tahu kita datang ke sini untuk mencari harta dan misteri, tapi aku rasa ada hal yang lebih penting di sini.” Kirana memandangnya, alisnya terangkat.

“Apa maksudmu?”

“Kita tidak bisa membawa artefak ini keluar,” lanjut Raka.

“Benda ini terlalu kuat, dan kita tidak tahu apa yang bisa terjadi jika ia dibawa keluar dari tempat ini. Lembah ini, reruntuhan ini… mereka dibangun untuk menjaga keseimbangan dan kekuatan di sini. Jika kita mengganggunya, kita bisa membahayakan banyak orang.” Kirana mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya ada sedikit rasa kecewa. Namun, dia tahu bahwa Raka benar. Artefak ini lebih dari sekadar harta karun. Itu adalah tanggung jawab besar yang tak bisa mereka abaikan.

“Aku setuju,” katanya akhirnya. “Kita harus memastikan artefak ini tetap di sini, terlindungi.” Dengan keputusan itu, Kirana dengan hati-hati mengeluarkan kristal biru dari celah di dinding, dan pintu yang terbuka perlahan menutup kembali. Cahaya keemasan menghilang, dan suasana di dalam reruntuhan kembali tenang. Mereka berdiri di sana beberapa saat, memandang tempat yang kini terkunci rapat, sebelum akhirnya memutuskan untuk meninggalkan lembah purba itu.

Kirana dan Raka berjalan perlahan keluar dari reruntuhan, melewati jalan yang telah mereka lalui sebelumnya. Meski fisik mereka lelah, ada rasa damai yang mulai muncul di hati mereka. Mereka telah menemukan apa yang mereka cari, tetapi lebih dari itu, mereka telah melindungi sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri. Saat mereka mendekati pintu keluar lembah, sinar matahari pagi menyambut mereka. Mereka berhenti sejenak, menatap pemandangan yang kini terlihat lebih cerah dan damai. Raka menoleh pada Kirana dan tersenyum tipis.

“Kita berhasil.” Kirana balas tersenyum, merasakan beban di pundaknya perlahan menghilang.

“Ya, kita berhasil.” Mereka berdua melangkah keluar dari lembah, meninggalkan reruntuhan purba dan segala rahasianya di belakang. Meski mereka tidak membawa harta karun fisik, mereka tahu bahwa pengalaman dan pengetahuan yang mereka dapatkan jauh lebih berharga.

Setelah petualangan panjang dan penuh tantangan, Kirana dan Raka kembali ke kehidupan mereka sehari-hari, namun dengan perspektif yang baru. Mereka tidak hanya belajar tentang peradaban kuno yang tersembunyi di Lembah Purba, tetapi juga tentang arti tanggung jawab dan kepercayaan.

Meskipun mereka tidak membawa pulang artefak yang mereka temukan, mereka tahu bahwa keputusan mereka untuk meninggalkan benda itu adalah keputusan yang tepat. Kekuatan besar yang terkandung di dalam artefak itu tetap terlindungi, dan lembah yang penuh misteri itu tetap aman dari tangan-tangan yang mungkin akan menyalahgunakannya.

Kirana kini merasa lebih kuat dan bijak setelah perjalanan tersebut. Petualangan itu telah mengubah cara pandangnya tentang dunia dan bagaimana setiap rahasia kuno tidak selalu untuk diungkap, melainkan untuk dilestarikan dan dijaga.

Di akhir perjalanan, mereka berdua tahu bahwa masih banyak misteri lain di dunia ini yang menunggu untuk ditemukan. Namun, kali ini mereka akan lebih berhati-hati, karena tidak

semua penemuan layak untuk diambil beberapa, seperti artefak di Lembah Purba, lebih baik tetap tersembunyi, terlindungi oleh waktu dan alam yang menjaga keseimbangan.

(Anissa Zahratusyita Kelas 9.2)