Nama : Mikayla Ayu Putranda
Sekolah : SD Global Madani
Kota : Bandar Lampung
Provinsi : Lampung
Langkah Mendaki Bersama Teman Sejati
Aura adalah anak perempuan yang populer di sekolahnya. Sayangnya, dia sombong dan suka merundung teman-temannya yang dianggap tidak setara dengannya. Dia memiliki tiga sahabat, yaitu Zoey, Bryan, dan Riki. Pada liburan kali ini, mereka berencana untuk melakukan pendakian ke Gunung Semeru. Riki awalnya ragu untuk ikut karena dia penakut. Tetapi karena Aura memaksanya, akhirnya Riki terpaksa ikut. Mereka menjadikan rumah Aura sebagai titik kumpul keberangkatan.
Keesokan harinya, Bryan datang terlebih dahulu ke rumah Aura. “Hai, Ra.” Sapa Bryan. “Hai juga, Yan.” Sapa balik Aura. “Yang lain belum pada datang, Ra?” tanya Bryan dengan kesalnya. “Mungkin masih dalam perjalanan.” Jawab Aura dengan santai. Beberapa menit kemudian, Riki dan Zoey datang. Zoey membawa saudaranya, yaitu Ana. Ana adalah anak yang baik hati dan suka menolong. “Kok ada Ana sih? Kan kita tidak ajak dia?!” muka Aura terlihat sangat kesal. Zoey menjelaskan, “Aku dan Ana kan bersaudara, Ana ikut denganku karena sedang tidak ada siapa-siapa di rumah. Tidak apa-apa kan Ana ikut?” sambil cemberut, Aura mengiyakannya. Mereka berangkat menggunakan mobil Aura dengan penuh semangat.
Setelah sampai di kaki Gunung Semeru, mereka bergegas untuk mulai mendaki dari pos satu. Sepanjang pendakian, mereka bertemu dengan pendaki yang lain dan saling menyapa. Di pos kedua, mereka beristirahat sejenak sambil makan bekal dan minum. Mereka membuka bekalnya masing-masing. Begitupun Aura, dia membawa pasta keju, hamburger, dan salad. Aura berbagi kepada tiga sahabatnya, tapi tidak dengan Ana. “Ra, Ana tidak kamu kasih?” tanya Zoey. “Ngapain kasih ke dia? Kan dia bawa sendiri.” Jawab Aura. Zoey terdiam, lalu melihat ke arah Ana. Ana yang mendengar percakapan tersebut, hanya tersenyum. Akhirnya mereka melanjutkan pendakian.
Hari semakin senja, tidak mungkin melanjutkan pendakian karena semakin gelap. Mereka memutuskan untuk membangun tenda dan bermalam di pos terakhir. Mereka bersendagurau bersama. Tiba-tiba, Riki bertanya kepada Ana “Omong-omong kamu sekolah dimana, Na?” Ana menjawab “Aku sekolah di Sekolah Rakyat Teladan.” Riki menjawab “Oh.. Begitu..” Aura bergumam “Oh. Sekolah murah.” Zoey yang mendengar perkataan tersebut langsung menegur Aura “Ra, tidak boleh seperti itu!” Aura membuang muka dengan sinis dan berkata “Memangnya, pekerjaan orang tua kamu apa?” tanya Aura. “Ayahku sudah tiada, kalau ibuku membuka warung kecil-kecilan. Aku membantu ibuku untuk bayar sekolah.” Jawab Ana. Suasana mendadak hening. Mereka merasa kasihan pada Ana, termasuk Aura. Bryan memecahkan suasana dengan menyuruh mereka untuk tidur, “Tidur yuk! Besok ingin lihat matahari terbit, kan? Ayo tidur!” ajak Bryan. Mereka semua tidur di tenda masing-masing, kecuali Ana. “Aku tidurnya nanti saja ya, aku ingin lihat langitnya karena sangat indah.” Kata Ana. Memang, malam itu sangat cerah, bintang-bintang saling berkedip seolah saling sapa. Sambil memandangi keindahan langit, Ana termenung. Dia masih memikirkan obrolan yang baru saja mereka ucapkan. Dia tidak sakit hati, hanya saja ia merasa ia seharusnya tidak bergabung dalam perjalanan ini. Dalam hati, Ana berkata “Sudahlah, semoga ini hanya firasatku saja. Matahari yang terbit besok akan jauh lebih indah dan menyenangkan.” Ana pun tidur menyusul teman-temannya.
Di tengah malam, Ana terbangun karena dia harus pergi ke kamar mandi. Saat Ana ingin balik ke tenda, dia melihat kalung emas yang mungkin terjatuh di tanah. Ana mengambil kalung itu dan memasukkannya ke dalam saku celana dia. Saat di dalam tenda, ia ingin membangunkan Zoey dan Aura untuk bertanya tentang kalung emas tadi. Tapi, Ana tidak tega membangunkan mereka karena mereka tertidur lelap. Akhirnya, Ana kembali tidur.
Keesokan harinya, Aura bangun terlebih dahulu. Ia meraba lehernya karena merasa gatal. Tiba-tiba Aura sadar, kalung emas pemberian bundanya hilang. Aura sangat panik. Ia mencari kesana kemari, tapi tidak ada. Aura membangunkan Zoey dan bertanya “Zoey, kamu lihat tidak kalung emas milikku?” Zoey menjawab “Bukannya kemarin masih ada dilehermu ya, Ra?” jawab Zoey. “Iya, tapi sekarang sudah tidak ada!” jawab Aura dengan nada yang tinggi. Mereka semua terbangun, termasuk Ana. Riki dan Bryan segera menghampiri suara tersebut. “Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Bryan. “Kalung emas milik Aura hilang!” ucap Zoey. Ana yang menyadarinya, langsung mengeluarkan kalung tersebut dan bertanya “Kalung yang ini bukan?” Aura langsung merebut kalung itu dari tangannya dan berkata “Jadi kamu yang mengambil kalung milikku? Kamu pasti mengambilnya karena ingin dijual untuk bayar sekolahmu, kan? Apakah kamu tau? Ini adalah kalung emas pemberian bundaku!” emosi Aura memuncak. “Bukan begitu.. tadi aku menemukannya saat ingin ke kamar mandi.” Jelas Ana dengan mata yang berkaca-kaca. “Halah, tidak usah banyak alasan! Inikan alasan kamu menunggu kami tidur dulu? Kamu pasti diam-diam mengambil kalungku saat aku tertidur lelap!” ucap Aura. “Aku tidak pernah diajarkan untuk mencuri, Ra!” jawab Ana dengan suara yang gemetar. “Sudah.. kita ingin lihat matahari terbit, kan? Ayo lanjut mendaki!” Riki menenangkan mereka berdua. “Pendakian ini berlanjut, tetapi Ana jalan paling belakang! Aku tidak mau melihat wajah pencuri!” ucap Aura. Akhirnya, mereka melanjutkan pendakian.
Langkah demi langkah, mereka semakin dekat dengan puncak gunung. Semangat mereka dalam mendaki semakin membara. Namun, cuaca di gunung tidak dapat diprediksi. Tiba-tiba di tengah perjalanan, suhu turun drastis. Aura mulai menunjukkan gejala hipotermia. Tak lama, Aura jatuh pingsan. Zoey menepuk-nepuk pipi Aura, berharap Aura sadarkan diri. Namun, setelah menunggu beberapa saat, Aura masih tidak sadarkan diri. Mereka semua panik, tidak tau apa yang harus dilakukan. Ana segera mengambil tindakan. Dia memeluk tubuh Aura untuk memberikan kehangatan tubuh dan menyelimuti Aura dengan jaket tambahan. “Riki.. Bryan, ayo cepat gendong Aura!” seru Zoey. “Kami tidak akan kuat! Lagipula kita sudah sampai disini, sebentar lagi sampai puncak! Jangan sampai pendakian kita sia-sia!” ujar Bryan. “Baiklah. Ana, ayo lanjut! Abis sampai puncak, kita balik lagi kok!” ucap Zoey. “Maksudnya, kalian ingin meninggalkan Aura sendiri disini?” tanya Ana. “Ayolah, kamu juga tidak mau kan melewatkan matahari terbit di puncak sana? Ingat, tujuan kita ingin lihat matahari terbit!” seru Riki. “Kalian lanjut saja tidak apa-apa, biar aku yang menemani Aura disini.” Ucap Ana. Zoey, Riki, dan Bryan pun lanjut mendaki. Di alam bawah sadar, Aura merasakan hangat di tangannya. Seolah ada seseorang yang memegang erat tangannya. Perlahan, Aura membuka matanya dan melihat sosok Ana. Lalu kembali tidak sadarkan diri.
Tak lama setelah itu, Aura dan Ana dibawa oleh tim patroli untuk ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, Ana dengan sabar menemani Aura, menjaganya agar tetap hangat dengan mengusap pipinya dan memegang tangannya. Suhu badan Aura mulai membaik, dan akhirnya Aura sadar. “Kenapa kamu masih mau menolongku, Ana?” tanya Aura dengan mata yang berkaca-kaca dan suara yang lirih. “Karena aku yakin, kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan.” Ucap Ana. Aura sadar, bahwa sikapnya selama ini keliru. Ana, yang ia pandang sebelah mata justru menjadi penyelamatnya. “Maafin sikapku selama ini ya, Na. Aku sadar kalau sikapku selama ini salah.” Ucap Aura. Ana pun memaafkannya “Tidak apa-apa, Ra. Semua manusia pernah berbuat salah kok.” Aura berterimakasih kepada Ana “Terima kasih ya, sudah mau menolongku.” Sejak saat itu, mereka berubah dan menjadi teman yang baik. Aura belajar, bahwa nilai seseorang tidak ditentukan dari materi, tetapi dari tindakan dan hati yang tulus.
Pesan moral dalam cerita ini adalah kita harus berbuat baik kepada siapapun. Karena kebaikan sekecil apapun pasti dibalas dengan kebaikan. Jangan lupa untuk terus berbuat baik ya teman-teman!!
Ditulis oleh Mikayla Ayu Putranda (siswi kelas 6), Editor Eka Setiawati, S.Pd., Gr.
